buku

Menentang Paranoia Bebas Anak

Judul               : Childfree & Happy-Keputusan Sadar untuk Hidup Bebas Anak

Penulis             : Victoria Tunggono

Penerbit           : EA Books

Cetakan I        : Februari, 2021

Halaman          : xxii + 150 hlm

ISBN               : 978-623-94979-5-8

Konon, di antara 4.300 spesies mamalia yang ada di bumi, manusia jadi satu-satunya yang melakukan aktivitas seksual sebagai kegiatan rekreasi semata. Hanya spesies ini yang mampu berhubungan seksual kapan saja tanpa memerdulikan masa subur, musim kawin, ataupun visi reproduksi sebagaimana umumnya mamalia.

Di sepanjang sejarah manusia modern, laku seksualitas kita pun cenderung menghindari kehamilan. Ketidaksiapan kita menghadapi bayi tiap kali berhubungan seksual jauh tak sebanding dengan intensitas laku seksual kita. Itu sebabnya, spesies ini menggelontorkan dana yang tak sedikit untuk terus mengembangkan teknologi dan metode kontrasepsi untuk mencapai tujuan ini. Population Council, salah satu lembaga penelitian kesehatan reproduksi dunia, tercatat menggelontorkan belasan juta dolar per tahun untuk mendanai riset seputar alat dan metode kontrasepsi (popcouncil.org).

Yah, meskipun alat dan metode kontrasepsi mengemban fungsi penting sebagai pencegah penularan penyakit kelamin, pada akhirnya, kita menggunakannya sebagai pencegah kehamilan yang utama. Alat kontrasepsi menjadi penemuan paling revolusioner dan terjangkau bagi masyarakat sedunia. Maka, tak mengherankan jika dkt Indonesia, pemasok alat kontrasepsi merek Sutra, Fiesta, Supreme, dan Andalan, mengklaim bahwa mereka telah mendistribusikan lebih dari 1,6 miliar alat kontrasepsi di Indonesia sejak 1996 (dktindonesia.org, 2021).

Anehnya, meski memiliki kemampuan secanggih itu, menjalani kehidupan tanpa anak sebab alasan apa pun nyatanya masih sulit diterima oleh masyarakat kita. Pembahasan kita mengenai orang-orang yang secara medis tidak bisa memiliki anak saja pun masih dipenuhi bayang-bayang kecacatan dan aib keluarga. Apalagi soal orang-orang yang secara sadar memutuskan untuk tidak memiliki anak dalam kehidupannya atau yang disebut bebas anak (childfree). Setidaknya, hal inilah yang membuatku cukup antusias menyambut Childfree & HappyKeputusan Sadar untuk Hidup Bebas Anak karya Victoria Tunggono ini.

“Keputusan” jadi poin utama Tori dalam buku ini. Saat kita memutuskan, kita sadar akan kehilangan sesuatu, tapi seringnya tak pernah sepenuhnya tahu soal apa yang akan kita terima nantinya. Keberanian mempertaruhkan hasil pikiran untuk menentukan sikap itulah yang membuat keputusan terkadang mengejutkan dan menakutkan. Terutama bagi masyarakat sosial yang sengaja-tak sengaja menciptakan nilai, moral, bahkan garis hidup yang tak kasat mata.

Di buku ini, Tori mengawalinya dengan cara yang sama mengejutkannya. Dia menyambut pembaca dengan pernyataan: “Saya Seorang Childfree” sebagai judul bab pertama. Dalam masyarakat sosial yang hidup dengan peta paten: lahir, sekolah, kerja, menikah, punya anak, punya cucu, mati; memilih hidup bebas anak terasa sebagai anomali dalam laku seks kita yang –sebenarnya—anomali pula.

Anak Tak Pernah Memutuskan untuk Lahir

Kita tahu, saat melahirkan, yang keluar dari rahim perempuan bukanlah emas antam, saham, atau sneakers bermerek yang bisa kita rawat sebagai investasi finansial di masa depan. Jika spesies ini menginginkan jaminan masa tua yang aman dan bahagia, memiliki anak tentu bukanlah tahapan yang wajib dilalui oleh manusia dewasa. Sudah saatnya kita memahami bahwa kita melahirkan manusia kecil, yang sama rapuh, rakus, dan berharganya, seperti kita, orangtuanya. Bedanya, anak tidak memutuskan untuk ada dan dilahirkan. Orang dewasalah yang punya kuasa untuk memutuskannya.

Barangkali itulah yang membuat Tori harus menuliskan catatan penting dalam pengantar bukunya ini. “Buku ini bukan ditulis untuk memengaruhi siapa pun […] Ditulis untuk kalian yang sudah merasa seperti ini, tetapi takut untuk mengambil sikap karena merasa berbeda atau karena tuntutan sekitar, juga untuk kalian yang tidak bisa memahami pemikiran orang-orang yang berbeda atau ‘aneh’ seperti saya.” (hlm. xv)

Tori tampaknya mengerti, meskipun kita terus dituntut untuk memperlakukan anak setara dengan orang dewasa, sebagai manusia, pada awalnya, dia hadir bukan sepenuhnya sebagai “manusia”. Dia belum punya kemampuan terpenting dan tersakti yang dimiliki manusia, yaitu kemampuan memutuskan. Namun selain segala hal tersebut, yang jelas Tori dan bukunya ini hadir untuk mengabarkan bahwa (rupanya) ada pilihan yang semacam ini.

Pilihan dan Keputusan

Di sepanjang buku, Tori menghadirkan dirinya sendiri beserta beberapa narasumber yang telah mantap memilih untuk bebas anak.  Rupa buku menjadi lahan catatan bebas nan personal bagi tiap penulisnya, Buku ini membawa kita mengenali konsep hidup bebas anak, alasan, serta tantangan yang mereka hadapi lewat kisah-kisah personal mereka. Pada bab ketiga, Tori bahkan menyodorkan bantuan jawaban atas pernyataan-pertanyaan yang mungkin diterima berkat paranoia masyarakat kita seputar hidup bebas anak. Di antara puluhan pernyataan-pertanyaan yang ditampilkan Tori, ada satu yang paling mewakili ketakutan itu; “Kalau semua orang berpikir childfree, peradaban manusia akan punah” (hlm.118)

Sebagai spesies, sepertinya hanya kita yang menyadari dan merasa takut pada kepunahan. Namun, sebagai manusia dengan sifat homosentris yang mengikutinya, kesadaran dan ketakutan ini malah jarang hadir saat kita bersama-sama merusak kestabilan ekologis hingga menyebabkan ancaman skala planet.

Sayangnya, buku ini tampaknya tak terlalu berminat untuk menjabarkan pilihan hidup bebas anak dalam penjabaran saintis. Subbab Alasan Orang Memilih Childfree (hlm.39) dalam hal lingkungan hidup pun terasa terlampau singkat dan lewat begitu saja. Padahal saat membaca subbab ini aku sempat mencari jawaban atas pertanyaan terkejam yang muncul di kepalaku: kenapa kita sebagai spesies tercerdas di muka bumi masih gagal mencegah kelahiran anak, saat kita tahu dengan jelas apa yang harus dikorbankan demi kehidupan satu orang manusia?

Namun, barangkali pendekatan personal macam Tori inilah yang paling cocok bagi masyarakat kita. Jangan-jangan kita memang tidak butuh penjabaran saintis seperti yang digunakan Elizabeth Kolbert dalam buku Kepunahan Keenam (KPG, 2020) atau David Wallace dalam Bumi yang Tak Dapat Dihuni (GPU, 2019) untuk menjelaskan betapa menakutkannya populasi manusia di dunia.

Paranoia bebas anak, melahirkan penentangan terhadap pilihan ini yang rasanya justru mengancam setiap anak yang lahir dalam kekangan itu. Pada kenyataanya, memang tak semua orang sanggup menanggung beban finansial ratusan juta sampai miliaran rupiah untuk membesarkan seorang anak. Tidak semua orang mampu secara emosional dan psikologis menangani nyawa baru yang memiliki kapasitas otak dan perasaan yang sama ringkihnya dengan bapak-ibunya. Seperti yang sempat disentil Tori dalam pengantar buku ini, “Salah kelola dalam pekerjaan, masih bisa diperbaiki dari awal, atau mencari pekerjaan lain. Namun, dampak ‘salah kelola’ kehidupan anak akan disesali seumur hidup oleh diri sendiri, si anak, dan orang lain” (hlm x).

Meski bagaimanapun, gagasan bebas anak adalah pilihan. Ketidakbebasan kita dalam memilih hidup bebas anak bukan hanya akan mengorbankan kita sebagai individu, tapi juga kehidupan anak sebagai anggota baru dalam ekosistem. Apa yang dituangkan Tori dalam buku ini menjadi langkah penting, meskipun sesederhana menyibakkan tirai jendela. Sebab, keputusan yang menakjubkan itu tak akan terbentuk jika kita tak pernah tahu bahwa pilihan itu ada.[]

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s