memutih

dan warna-warna lainnya


Rupa Perbeasiswaan Kita

SECARIK surat mahamulia yang ditulis Kartini untuk Nyonya Abendanon pada 24 Juli 1903 menjadi tonggak berubahnya takdir pendidikan bangsa ini. “ Saya punya suatu permohonan yang penting sekali untuk Nyonya, tapi sesungguhnya permohonan itu ditujukan kepada Tuan (Abendanon). Maukah Nyonya meneruskannya?” tulis Kartini dalam suratnya.

Permohonan itu adalah pelimpahan beasiswa sebesar 4800 gulden yang telah dijanjikan Gubernemen kepada Kartini dan adiknya agar bisa meneruskan sekolah ke Batavia. Kartini sangat berharap beasiswa yang tidak jadi digunakan itu agar diberikan kepada pemuda cerdas bernama Agus Salim, yang mengikuti ujian penghabisan sekolah menengah HBS. Pemuda Salim ternyata menjadi juara pertama dari ketiga-tiga HBS (Surabaya, Semarang, dan Batavia).

“Teringat kami pada SK Gubernemen tertanggal 7 Juni 1903—SK yang begitu didambakan sebelumnya tapi kemudian, ketika kami terima, dipandang dengan rasa pilu yang menyayat hati,” tulis Kartini. Kita tahu, entah bagaimana, akhirnya Kartini dan adiknya tidak jadi berangkat ke Batavia, malah dia menikah dengan seorang bupati yang sudah beristri.

Maka, kata Kartini dalam sura itu, “Apakah tak mungkin orang lain menikmati manfaatnya? Gubernemen menyediakan untuk kami berdua sejumlah uang sebesar 4800 gulden guna menyelesaikan pendidikan kami… Alangkah indahnya andai pemerintah bersedia membiayai seluruh pendidikannya [Agus Salim] yang sejumlah kira-kira 8000 gulden. Bila tak mungkin, kami akan berterima kasih, seandainya Salim dapat menerima sejumlah 4800 gulden yang disediakan untuk kami itu”(Seratus Tahun Haji Agus Salim, 1984). Dengan begitu jadilah Kartini penggagas dan perencana awal adanya dana pendidikan (beasiswa) bagi sebangsanya di tanah air.

Kita patut sumringah. Tak jauh setelah itu, tokoh-tokoh pribumi ramai-ramai serta bergiliran membikin suatu dana pendidikan (studiefonds) yang diperuntukkan bagi para pribumi. Dimulai dari trio bangsawan Jawa, yakni Pangeran Notodirojo dari Pakualaman Yogyakarta, Raden Mas Tirto Adhi Soerjo, redaktur  surat kabar Sinar Matahari dan Mas Sudiro Husodo, dokter Jawa sekaligus redaktur surat kabar Jawa Retnodoemilah.

Ketiganya secara kalem dan trengginas berhasil menghimpum 400 hingga 500 anggota donor. Pada sebuah surat yang diajukan ke pemerintah Hindia-Belanda, ditulis J.E Jasper, berjudul Suatu Dana Pendidikan Bagi Bumiputera (1906), mereka bertiga akan menyalurkan dana itu dalam bentuk rumah pemondokan, pengajaran bahasa Belanda, serta bantuan dana sekolah ke Belanda.

Dari rentetan ini, Boedi Oetomo (BO) jelas merupakan bagian penting dalam sejarah perbeasiswaan di Indonesia. BO adalah bagian dari gulingan bola salju pemikiran Kartini. Dan buah dari benih gigih usaha tiga tokoh Jawa tadi. Sejak dari BO dana pendidikan yang dihimpun diwujudkan dalam bentuk yang lebih radikal, yakni dengan mendirikan banyak sekolah di daerah-daerah, yang akhirnya membuat pemerintah Hindia Belanda kalang kabut akibat perlawanan kaum terdidik.

Begitulah nyatanya bentuk kebangkitan kita selama ini. Kebangkitan kita rupanya berawal dari adanya beasiswa pendidikan!

Kita tahu bahwa beasiswa adalah gagasan besar. Amat besar sampai-sampai kita kerap kali oleng karenanya: dalam beasiswa ada perjuangan untuk kaum miskin, untuk kaum yang terus diperbodoh atau dibodoh-bodohi, dan pemerintah (juga kerajaan) yang tak peduli pada pencerdikan rakyatnya. Inilah gagasan beasiswa yang digulirkan sejak awal abad ke-20.

Hingga kini gagasan itu masih menyungai deras. Kita tak cuma menemui beasiswa dari pemerintah. Tapi juga dari pelbagai perusahaan swasta, bank, bahkan kita wajib ingat bahwa salah satu pemberi beasiswa terbesar adalah sebuah pabrik rokok yang produk-produkya dimusuhi secara halus oleh pemerintah.

Kita juga wajib mengakui bahwa beasiswa-beasiswa yang ada kini sudah tak sesuci dulu. Beasiswa telah berubah rupa, dari yang suci, apresiasi terhadap piala, sampai hanya pesta pora. Jika pada mulanya ia berperan jadi pijakan putra-putri tanah air yang membutukan bantuan dana agar bisa bersekolah dengan baik, kini beasiswa jadi sebentuk piala yang mengapresiasi capaian prestasi siswa. Bahkan ada yang lebih mengerikan lagi, dana yang didapat dari beasiswa kebanyakan digunakan bukan untuk urusan pendidikan, namun untuk kehidupan sehari-hari bahkan hiburan dan aksesoris life style kekinian.

Tentu ini terjadi karena beasiswa menjelma jadi apresiasi, maka dana yang didapatkan akan dimaknai sebagai hadiah, bukan derma dan tanpa perlu merasa bersalah jika digunakan untuk keperluan apapun termasuk jika itu bukan bagian dari keperluan pendidikannya. Sangat disayangkan jika dana-dana itu lebih dipentingkan untuk makan di kafe ketimbang kuota internet (kuota internet itu penting lho. Sungguh!) Atau malah lebih sering digunakan untuk sangu  malam minggu ketimbang membeli buku-buku.

Padahal setiap tahun pemerintah menggelontorkan dana yang sangat besar untuk macam-macam beasiswa yang dikeluarkan pemerintah. Beasiswa Bidik Misi, Beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA), Beasiswa Pendidikan Magister Menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMMDSU) dan Beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) serta masih sangat banyak lagi.

Semuanya tentu berasal dari patungan rakyat seluruh Indonesia. Bahkan, uang dari swasta sejatinya juga uang dari rakyat, melalui jalur-jalur komersial yang juga mengambil dari uang rakyat. Ini yang perlu diingat para penerima beasiswa. Eling wong cilik!

 

*Pernah terbit di Mimbar Mahasiswa Solopos, 20 September 2017



Leave a comment