memutih

dan warna-warna lainnya


Perempuan Bermukim di Pendidikan

 /1/

Akhirnya, seperti alam, ibu menumbuhkan kehidupan. Romo Mangunwijaya menulis, “Wanita punya wajah dan kulit molek. Tetapi kita tahu bahwa esensi wanita ada pada rahim dan sikap serta cita rasanya menghadapi suami dan anak-anaknya. Kerahiman itulah salah satu lambang religiositas: rahim yang mengemban dan menumbuhkan kehidupan.” (Menumbuhkan Sikap Religiositas pada Anak-anak, 1991). Masyarakat Jawa mengalungi perempuan dengan istilah pemangku turunan, ia terasa mulia karena dianugerahi kemampuan melahirkan keberlanjutan. Orang Jawa menganggap, perempuan adalah lambang keabadian hidup manusia.

Di Jawa sebelum abad duapuluh, urusan perempuan dan kerahiman sempat jadi soal gawat. Praktik pernikahan dini, kawin paksa serta poligami yang umum terjadi pada masa itu terasa jadi penyebab perempuan jadi sangat tersingkirkan. Praktik ini merampas kesempatan perempuan untuk bisa menikmati kehidupannya sendiri lebih panjang, mendapatkan pengajaran dan pendidikan. Perempuan-perempuan itu hanya menjelma sebagai ibu yang—meminjam istilah Romo Mangun— “menumbuhkan kehidupan yang serampangan”. Kita menyaksikan Kartini yang resah karena itu. Dalam suratnya pada Stella, 23 Agustus 1900, Kartini gerah-geram: “Jalan hidup anak perempuan Jawa telah dibatasi dan dibentuk menurut satu pola yang sama…Kaum perempuan di sini tak boleh menyatakan keinginan apapun; mereka begitu saja dikawinkan…dikawinkan dengan siapa saja yang dipandang baik menurut orang tuanya…dalam dunia kami tiap perempuan yang telah kawin mengetahui bahwa dia bukan satu-satunya istri suaminya…Tetapi bukan berarti mereka tidak sangat menderita karena itu. Seharusnya kami bertindak” (Cora Vreede de Stuers, 2017).

Kartini bisa dibilang sebagai tonggak awal pemikiran feminisme di Indonesia. Barangkali dialah yang pertama sadar, satu-satunya jalan untuk menghentikan derita itu adalah dengan “bertindak”. Lalu, kita tahu, ia “bertindak” dengan menuntut pendididkan bagi perempuan. ”Kepada kaum ibu, pusat kehidupan rumah tangga, dibebani tugas besar mendidik anak-anaknya. Untuk keluarga besar, keluarga raksasa yang bernama masyarakat, karena anak-anak itu suatu waktu akan menjadi anggotannya. Untuk itulah kami meminta pengajaran dan pendidikan bagi gadis-gadis” (Surat Kartini kepada Profesor G.K Anton dan Nyonya dari Jena, 14 Oktober 1902, dalam Cora Vreede de Stuers, 2017). Pendidikan diyakini ampuh melawan opresi.

Sebelum kesadaran itu muncul, perempuan di Jawa sebenarnya bukannya tidak berpendidikan sama sekali. Anak-anak Jawa biasanya akan  diajari bagaimana hidup sebagai masyarakat yang baik melalui cerita-cerita wayang, mengaji, berhitung, membaca serta menulis aksara-aksara Arab dan Jawa. Apa yang diusahakan Kartini, adalah pendidikan modern seperti yang diperoleh oleh laki-laki. Di masa itu, meski jumlah sekolah yang ada bertambah pesat pascapolitik etis diterapkan, sampai tahun 1913 pemerintah kolonial Belanda belum membangun satupun sekolah perempuan untuk rakyat biasa. Padahal saat itu jumlah sekolah untuk perempuan Eropa sudah mencapai 37 buah.

Tekad Kartini dalam mewujudkan pendidikan bagi perempuan itu, utamanya karena perempuan yang sudah menjelma sebagai ibu, baginya menanggung tugas besar. Dalam surat yang sama ia melanjutkan,“…kami ingin menjadikan perempuan lebih cakap melakukan tugas besar yang diberikan Ibu Alam ketangannya agar menjadi ibu: pendidik umat manusia yang utama”.

Rahim tak hanya memiliki tautan biologis. Seperti yang diyakini Kartini, perempuan sebagai ibu adalah semesta hidup pertama anaknya. Dia adalah yang paling memiliki kesempatan, kepercayaan dan kepatuhan dari si anak untuk menularkan cara berkehidupan, religiositas, pengetahuan serta pendidikan. Setelah  Kartini, Ki Hajar Dewantara adalah sambungan dari tekadnya dalam mewujudkan pendidikan bagi perempuan. Dalam gagasan pendidikannyalah, perempuan ditempatkan dalam bayangan harapan yang sama dengan apa yang digagas oleh Kartini. Konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara tentang perempuan dibentuk dalam gagasan yang lebih tegas dan sangat terstruktur.

Ki Hajar Dewantara yakin, rimbun-gersangnya anak-anak bersumber dari penghidupan yang ditumbuhkan ibu. Dalam esainya tentang perempuan, kita menyaksikan keyakinan itu meski terbaca sadis: “Seringkali kehidupan perempuan itu tidak saja menjadi pohon kesucian dan keselamatan, tapi juga acapkali seolah-olah menjadi telaga kehinaan dan kesengsaraan” (Karja Ki Hajar Dewantara Bagian II, 1967). Meski perempuan dalam pikiran Ki Hajar Dewantara tergambar paradoks, tapi Ki Hajar yakin, perempuan menempati posisi penting bagi jalannya kehidupan manusia. Berdasar keyakinannya inilah Ki Hajar Dewantara membangun gagasan pendidikan nasionalnya.

Para penggagas pendidikan dunia barangkali tahu betul, dalam membentuk konstruksi pendidikan, anak adalah subjek yang harus ditangani serius. Tapi Ki Hajar juga paham, usaha mewujudkan hal itu berkunci pada perempuan. Kita bisa tahu mengapa perempuan menjadi penting dalam gagasan pendidikan Ki Hajar Dewantara melalui pidatonya pada peringatan Seperempat Abad Kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia, 22 Desember 1953. Dia mengatakan, “Sistem pendidikan kita berdasarkan kebudajaan pada umumnja, khususnja dalam arti jang paling pokok, jaitu memperbaiki djenis.” Dalam pidatonya itu, Ki Hajar Dewantara mengibaratkan, anak-anak, atau bahkan bangsa yang ia bayangkan adalah bibit-bibit tanaman yang ingin diperbaiki mutunya. Ki Hajar menyebut usaha ini dengan istilah Belanda; kultivéring yang berarti memperbaiki jenis tanaman. Untuk menciptakan bibit yang seperti itu, Ki Hajar Dewantara yakin, yang harus diperbaiki lebih dulu adalah para perempuannya, pokok-pokok tanamannya. “Kita mementingkan soal kewanitaan, maka tidak lain maksud kita jang pertama ialah untuk memperbaiki hidup anak-anak kita” (Soal Wanita, 1961).

Ki Hajar mengubah ibu dalam pengertian biologis dan individualis menjadi sebuah entitas besar yang bertanggungjawab pada ancang-ancang pembentukan bangsa. Ibu bukan lagi sebatas rahim dan hubungan darah. Perempuan sebagai ibu tak hanya menyandarkan esensi pada suami dan anak-anaknya macam yang dikatakan Romo Mangun. Lebih dari itu, ibu dalam pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara sudah jadi milik bangsa. Ia merupa jadi alat kultivir anak-anak bumiputera, manusia-manusia kecil yang dikonstruksi sebagai masyarakat baru yang diharapkan bisa lebih berpengetahuan-berpendidikan, berpikir nasionalis serta mengerti siapa dirinya.

Sebab bagi Ki Hajar, mendidik anak-anak bukan hanya persoalan menularkan kemampuan. Dalam esainya berjudul Pendidikan dan Pengadjaran Nasional dikutip dari Karja Ki Hajar Dewantara:Bagian II (1967), mendidik anak merupakan investasi nasional. “Mendidik anak itulah mendidik rakjat. Keadaan dalam hidup dan penghidupan kita pada djaman sekarang itulah buahnya pendidikan jang kita terima dari orang tua pada waktu kita masih kanak-kanak. Sebaliknja, anak-anak yang pada waktu ini kita didik, kelak akan menjadi warganegara kita”.

 

/2/

Gagasan “ibu” nyatanyaa tak cukup sempit bagi pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara.  Dalam gagasan pendidikannya, perempuan diserahi peran penting. Di Perguruan Taman Siswa, guru-guru perempuan ditugasi untuk mengajar siswa-siswa tingkat awal. Sudah tentu hal ini tak lepas dari keyakinannya bahwa perempuan unggul dalam kepemilikian cinta kasih, kelembutan, kesabaran dan ketelitian. “…bahwa anak-anak kecil itu masih sangat membutuhkan hubungan batin dengan ibu; karenanya mereka lebih tertarik kepada guru perempuan daripada guru laki-laki. Sesungguhnya untuk memenuhi kemauan dan keinginan anak-anak, untuk bercampur gaul dengan anak-anak, memang guru perempuanlah lebih pandai daripada guru laki-laki…maka perlulah sekali tiap-tiap sekolah memakai guru-guru perempuan sebagai pemimpin anak-anak kecil” (esai Perempuan dalam Pendidikan dalam Karja Ki Hajar Dewantara: Bagian II, 1967 ).

Perempuan sebagai ibu tak berhenti hanya jadi alat kultivir anak-anaknya di rumah. Ki Hajar Dewantara tetap teguh, tugas mendidik anak-anak paling tepat diserahkan pada perempuan. Tugas itu lalu berlanjut di sekolah. Kita mengingat pendidikan awal yang kita jalani di Taman Kanak-kanak. Ingatan pada masa Taman Kanak-kanak adalah ingatan ber-ibu di sekolah. Anak-anak memindahkan raganya untuk dididik dan diajari, tapi tubuh dan jiwanya masih membutuhkan perlindungan ibu. Dalam sistem pendidikan Ki Hajar Dewantara itu, “anak” di rumah, tetap menjadi “anak” di sekolah. Maka ia mengonstruksi sistem pendidikannya dalam bingkai gagasan keluarga. Gagasan inilah yang digunakan untuk menentang sistem pendidikan Eropa yang digunakan di sekolah-sekolah bentukan Belanda.

Dalam pendidikan yang dibayangkannya, guru bukan sekadar pengajar yang berhenti saat proses pembelajaran itu berakhir di kelas. Guru tidak akan jadi “tuan benar yang berkuasa” seperti yang terjadi di kelas-kelas sekolah bentukan Belanda. Bagi Ki Hajar Dewantara, guru harus memiliki ikatan dengan para siswa. Untuk mewujudkan ini, ia menggunakan metode Among dalam pendidikan yang dibangunnya. Among berasal dari gagasan tradisional Jawa yang berarti membimbing anak dengan penuh kecintaan. Dalam metode ini, guru-guru disebut Pamong, yang artinya pengasuh dan penuntun. Dengan menerapkan metode Among, hubungan antara siswa dan guru menjadi lebih erat karena merasa dalam satu ikatan keluarga. Para guru memposisikan diri sebagai orang tua dan para murid adalah sang anak. Jadilah para siswa di Taman Siswa yang pertama kali memanggil guru-guru mereka dengan sebutan “ibu” atau “bapak”. Padahal, di masa itu para siswa biasa memanggil gurunya dengan sebutan; mas behi, den behi, bahkan ada yang menyebut ndoro.

Pendidikan yang dikonstruksi serupa keluarga ini, diam-diam meneruskan tugas perempuan sebagai “ibu pendidik” seperti yang pernah disebutkan Kartini, meskipun “anak-anak” yang dimaksudkan Kartini adalah anak-anak rahim mereka. Sedangkan dalam sistem pendidikan Ki Hajar Dewantara, perempuan-perempuan yang ada di sana  tak memiliki tautan itu. Tapi kita tahu, keduanya sama-sama sedang menanam “investasi nasional.”

Perempuan sebagai guru adalah perwujudan yang paling tepat bagi Ki Hajar Dewantara dalam menggagas emansipasi perempuan. Lewat esai-esainya yang menyoal perempuan, ia berulangkali meyakinkan bahwa dunia pendidikan adalah tempat yang cocok, yang sesuai dengan kodrat perempuan. “Hai, kaum perempuan Indonesia, masuklah ke dunia pendidikan! Di situlah  kamu akan merasakan kenikmatan diri, karena kamu bekerja guna kemuliaan rakyat dan bangsa, selaras dengan kodratmu lahir dan batin” (esai Perempuan dalam Pendidikan dalam Karja Ki Hajar Dewantara: Bagian II, 1967 ).

Kodrat perempuan yang dipikirkan Ki Hajar Dewantara jelas berakar dari persoalan rahim perempuan. Kepemilikan rahim membuat perempuan terbayangkan hidup dalam satu garis lurus, yakni: melahirkan anak. Kepemilikan rahim itu diyakininya menentukan takdir perempuan secara fisik maupun psikologis. Hal itu memengaruhi perannya di masyarakat. Cara pikir ini, yang dalam studi gender disebut gender nature, mengamini kalau perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan jadi alasan mutlak yang membentuk dan menentukan pembagian peran antara kedua jenis kelamin itu. Jadi, perempuan akan selalu lekat pada sifat-sifat keibuan. Sesuatau yang bakal bikin mencak-mencak feminisme modern.

Pendidikan yang dihadirkan Ki Hajar Dewantara bukan hanya mendidik perempuan agar dapat hidup menjadi ibu dan menumbuhkan anak-anaknya dengan penuh pengetahuan, tapi juga menyeret perempuan untuk masuk dan menjadi ibu dalam “dunia pendidikan” itu sendiri.

 

 

/3/

Lain dengan sekolah Kartini yang seluruh siswanya adalah perempuan, Taman Siswa mendidik-ajar siswa perempuan dan laki-laki dalam satu kelas. Ki Hajar sendiri terasa tidak sepakat dengan sekolah ekslusif perempuan seperti yang didirikan Kartini itu. Baginya, anak-anak perempuan yang dipisahkan dari laki-laki nantinya akan mudah kikuk, dan lebih gawat dari itu, mereka akan jadi terasing dalam dunia yang senyatanya. “Lagi pula, anak-anak perempuan yang senantiasa diasingkan itu, biasanya lalu sempit pemandangannya, sempit pengetahuannya dan sempit juga adat istiadatnya” (Karja Ki Hajar Dewantara: Bagian II, 1967: 250).

Di dalam kelas, Ki Hajar Dewantara tetap menghadirkan perempuan dalam fungsinya menjalankan kodrat ini. Kehadiran perempuan diharuskan karena sifat-sifat yang ditanggung perempuan dipercaya dapat memengaruhi barang dan tempat di sekelilingnya. Kodrat perempuan yang teguh diyakini Ki Hajar Dewantara itu menguakkan kesucian, kehalusan dan dalamnya rasa batin, yang dianggap berfaedah dalam dunia “pendidikan”.

“Begitulah di dalam kelas. Kalau ada anak perempuan, niscayalah murid-murid laki-laki takut akan berbuat kasar. Dalam perkataannya pun mereka terpaksa berhati-hati, harus berkata halus dan sopan. Kalau kelas tidak ada murid perempuan, biasanya anak-anak berbicara semau-maunya, seringkali kasar dan kotor…maka karena adanya perempuan, rasa kebatinan lalu lebih dalam juga dan karena itu rasa kemanusiaan dapat masuk” (Karja Ki Hajar Dewantara:Bagian I, 1962:384). Anggapannya ini membawa ingatan kita pada pada kisah anak-anak Prabu Destrarata dalam epos Mahabarata. Konon, Dewi Gandari, sang istri, bukannya melahirkan seratus anak seperti yang dijanjikan Dewa Shiwa. Tanpa disangka, Dewa memberinya seratus putra dan seorang putri. Kehadiran satu-satunya putri dalam keluarga Prabu Destrarata dan Dewi Gandari itu supaya dapat memberikan kedamaian dan memperhalus suasana kerajaan Kuru. Keatika anak-anaknya yang seratus itu tumbuh menjadi para Kurawa yang kasar dan penuh berontak. Dewi Gandari tua yang kesepian masih bisa merasakan ketenangan dari Putri Ambika, putrinya. Barangkali ini juga yang membuat Ki Hajar percaya, kehadiran perempuan dapat menghaluskan suasana.

Meski Ki Hajar Dewantara boleh jadi laki-laki pertama yang menggagas pendidikan perempuan dengan serius, namun kehadiran perempuan dalam gagasan pendidikan Ki Hajar Dewantara terasa sangat mekanis. Perempuan dihadirkan untuk memperbaiki ini-itu, dididik supaya tak salah dalam menumbuhka bibit-bibit yang berharga. Namun, kita menyaksikan, sejak inilah perempuan sedikit-sedikit bisa lepas dari segala kerangkeng yang membatasinya. Bagaimanapun, gagasan pendidikan yang ditawarkan Ki Hajar Dewantara adalah upaya lain dalam menumbuhkan kehidupan. Pendidikan menawarkan kesadaran, pengetahuan, tekad dan  kebebasan. Untuk mewujudkan hal-hal itu, perempuan adalah mulanya.[]

Esai sempat terbit di Majalah Basis edisi April 2019



Leave a comment