memutih

dan warna-warna lainnya


Literasi Doa Anak

DALAM banyak gaya, doa begitu sering hadir dalam keadaan meminta. Meski kita sama-sama tahu, meminta adalah sebuah peristiwa sederhana dan biasa, tapi doa selalu menjelma jadi adegan istimewa. Barangkali sebab inilah, peristiwa berdoa jarang terasa mulus hadir dalam cerita-cerita anak.

Para penulis cerita anak bisa saja sekuat tenaga menyusun rupa-rupa kisah moralis demi mengukuhkan sifat-sifat baik dalam jiwa anak, tapi kehilangan keluwesannya untuk menyisipkan adegan berdoa dalam banyak cerita yang tertuliskan. Dibandingkan berdoa, si tokoh dalam cerita haruslah dapat menyelesaikan masalahnya sendiri. Alasannya sudah pasti, karena doa bukanlah lampu ajaib! Selain itu, selama ini doa mengurung kita dalam suatu ke”aku”an atau malah hal-hal lain yang menyesakkan, seperti perbedaan agama, cara berdoa dan sebagainya. Padahal doa bisa saja jadi milik universal. Milik seluruh makhluk hidup. Doa bisa saja jadi kasih tak bermata atau jadi tangan penolong pada siapa saja.

Segala kemungkinan ini sudah tentu harus ditumbuhkan sejak anak-anak. Itulah sebab kehadiran doa-doa dalam buku anak menjadi amat penting. Karena bukan saja peristiwa itu akan bertautan langsung dengan ingatan sekaligus kesadaran anak sampai tahun-tahun dewasanya. Namun juga akan memengaruhi makna doa bagi anak, apakah doa akan dimaknai sebagai petisi, atau hanya hadir dalam situasi melankoli. Apakah doa menjelma sebagai tebusan atau  bisa jadi sekadar peristiwa mengingat Tuhan?

Di Indonesia, buku doa anak jarang berbungkus kesederhanaan dan kelucuan. Buku-buku bersisipkan doa biasa hadir dalam banyak kenakalan, keapesan, dan penyesalan. Di toko-toko buku, buku anak yang semacam ini bisa dengan mudah kita temukan.

Ketimbang dalam cerita anak,doa-doa yang diperuntukkan buat bacaan anak biasanya hadir utuh-khusu dalam sebuah buku doa anak yang khusus. Banyak diantaranya  tampil untuk dihafalkan. Penerbit-penerbit mayor seperti, Kido, BIP (Qibla dan Genta), Kanisius dan Mizan punya seabrek buku soal itu.

Anak-anak lalu terpatri bahwa doa adalah mata uang kita untuk bertransaksi pada Tuhan. Padahal kita terngiang, Romo Mangunwijaya dalam buku Menumbuhkan Religiositas Anak-anak (1999) bersikukuh mengatakan bahwa Tuhan bukanlah pedagang yang meminta imbalan dan menjual kasihnya. Tuhan tak perlu bayaran!

Di kumpulan cerita anak bernuansa sedih cum berilustrasi apik yang ditulis Clara Ng, Bagai Bumi Berhenti  Berputar (2012), doa-doa hadir tanpa harus beradegan. Ada banyak peristiwa tak terkatakan namun juga doa. Clara Ng banyak menampilkan harapan-harapan anak-anak yang tak terkatakan.

Di buku Seri Kabayan: Ayam untuk Bapak Gubernur (Bambang Oeban, 2000), doa bisa tampil sebagai hiburan seru: “Oh, Tuhan. Seperti makan obat, sehari tiga kali aku memohon kepadaMu. Supaya aku diberi uang. Tapi kok tidak diberi juga. Kasihani aku, Tuhan. Sekarang sudah tanggal 10. Tiga hari lagi tanggal 13. Penagih utang akan datang, sedangkan aku sepeserpun tak pegang uang… Aku harus bagaimana, dong, Tuhan? Kuakui, sewaktu ngutang enak sekali. Aku bisa membeli apa saja yang aku mau. Aku bisa makan es krim, aku bisa makan ayam panggang. Aku bisa makan sate kambing. Padahal kalau Tuhan ingin tahu, semua itu aku lakukan demi menyenangkan istriku, si Iteng. Tapi sekarang, terus terang aku menyesal. Uang yang kupinjam sudah habis. Yang lebih menakutkan lagi, pinjaman it uterus berbunga. Sungguh, aku terbelit hutang, Tuhan” Kita membayangkan anak-anak beserta ayah-ibu yang membacakannya tertawa cekikikan saat menghadapi doa si Kabayan.

Lewat cerita-cerita anak, berdoa mestinya tak lagi tampil sebagai kegiatan kaku yang serius dan membosankan. Namun juga menjadi sebuah hal sederhana yang menyenangkan. Kita hanya perlu menunggu kemurahan hati para penulis dan penerbit buku anak agar mau menelurkan buku-buku lembut berpahala ini~[]

 

Vera Safitri

Buruh di Jakarta

 

*Terbit di Majalah Katolik, Utusan. Oktober 2019



Leave a comment